Senin, 30 Maret 2009

LUKISAN BURAM PENDIDIKAN VS MASA DEPAN JAYA


Oleh : Gusnan Mulyadi, SE.MM

Berdasarkan laporan bertajuk "Education for All (EFA) Global Monitoring Report bidang pendidikan oleh United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) yang dirilis November 2008, Indonesia menduduki peringkat 71 dari 129 negara. Laporan itu sungguh tidak menggembirakan karena pada 2007, Indonesia menduduki peringkat 62 dari 130 negara, dan pada 2006 justru bertengger di tangga 58. Artinya, selama tiga tahun terakhir pendidikan Indonesia terus terpuruk. Terkait hal itu, kita masih tetap harus bersedih karena daya saing Indonesia masih sangat rendah, bukan cuma di mata dunia internasional, tapi juga di antara negara-negara ASEAN. Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) 2008-2009, daya saing Indonesia hanya mampu menduduki peringkat 55. Peringkat itu berada di bawah beberapa negara ASEAN, seperti Singapura di peringkat 5, Malaysia 21, Thailand 34, dan Brunei Darussalam 39. Peringkat daya saing Indonesia itu terus merosot sejak krisis ekonomi tahun 1998. Indonesia yang sempat duduk di peringkat ke-37 pada tahun 1999, turun ke posisi 44 pada tahun 2000. Peringkat ini menurun lagi pada tahun 2001 ke urutan 49, dan 69 pada tahun 2002, sebelum akhirnya menduduki peringkat terendah pada tahun 2003 dengan posisi ke-72, kemudian ke posisi 54 pada 2007. Ada banyak faktor yang membuat daya saing Indonesia dinilai masih rendah, seperti infrastruktur, birokrasi, persoalan energi, penegakan hukum, dan tentu saja kualitas SDM yang terkait dengan kualitas pendidikan.

Kita semua tahu bahwa sesunggunya pendidikan kita mempunyai cita-cita yang sangat mulia sebagai mana UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Lho kalau begitu pertanyaannya “kenapa kapal pendidikan kita tidak mampu mengantarkan penumpangnya menuju dermaga cita-cita yang mulia itu ?”.

Saudaraku
banyak kenyataan yang membuat hati kita miris melihat carut-marut dunia pendidikan kita saat ini, sehingga kita merasa lelah dan capek yang teramat sangat, kita selalu bergelut dengan benang pendidikan yang kusut sehingga kita sendiri bingung mencari dimana pangkal permasalahannya. Secara nasional kita sudah terbelenggu dengan dikotomi pendidikan sebagai mana tertuang dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus . Dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum dan keterampilan hidup (life skill). Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islami sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

Kegagalan pendidikan ini bukanlah merupakan kesalahan guru semata namun seperti saya uraikan tadi kesalahan paling mendasar. Pertama yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan (dikotomi). Kedua, masalah lainnya, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti :

(1).Rendahnya sarana fisik, karena pemerintah lebih mementingkan proyek-proyek mercusuar.

(2). Rendahnya kualitas guru, karena rendahnya kepedulian pemerintah untuk memberikan biaya pendidikan dan pelatihan-pelatihan motivasi, keterampilan, Imtaq kepada para guru.

(3). Rendahnya prestasi siswa, dikarenakan kurang sarana-prasarana serta fasilitas pendidikan dan rendahnya kualitas guru, tidak adanya terobosan dari pemerintah untuk menambah jam belajar, matapelajaran lokal dan gaji/honor kelebihan jam mengajar.

(4). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan karena pembangunan yang tidak merata dan dalam serta lebarnya jurang pemisah antara Sikaya dan Simiskin.

(5). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, karena pemerintah tidak pernah peduli dengan permasalahan pasar tenaga kerja lokal, budaya lokal, dan tidak peka terhadap pengangguran yang selalu bertambah serta pelajaran budi pekerti.

(6). Mahalnya biaya pendidikan, dikarenakan pemerintah tidak mau memberikan sudsidi pendidikan bagi yang kurang mampu dan hal yang paling mendasar adalah karena rendahnya tingkat pendapatan perkapita.


Khususnya Bengkulu Selatan juga memiliki permasalahan tambahan yang cukup berat antara lain ; Rendah minat siswa untuk sekolah kejuruan dan agama sehingga mereka cenderung masuk SMA sehingga banyak tamatan SMA, SMK, MA yang tidak memiliki daya juang dan kemandirian karena tidak mempunyai pengetahuan yang seimbang antara pengetahuan umum, moralitas keagamaan, keterampilan hidup (life skills). Dilain sisi 60% s/d 70% tamatan SLTA tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, sementara kurikulum SLTA ditujukan untuk melanjukan ke Dikti bukan untuk siap kerja (pengangguran jadi subur).Tidak ada pelajaran etika/estitika/budipekerti, motivasi dan kewirausahaan disekolah. Terbengkalainya sekolah kejuruan di Selali. Belum ada perguruan tinggi yang memandai.Tidak berpihaknya kebijaksanaan anggaran Pemda dalam peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru.

Kewajiban kita semua untuk mencari jalan keluar dari semua permasalahan yang ada ini. Saya pribadi sering sekali berkhayal (bolehkan! Berkhayal aja kan ga bayar hehehe) . Menurutku, khususnya untuk masalah mendasar yaitu paradigma dan dikotomi pendidikan dapat kita siasati dengan memasukan matapelajaran keterampilan, Etika dan Estitika/Budipekerti serta pengendalian emosional, dasar-dasar keimanan, kewirausahaan , budaya-kesenian lokal, agama dalam matapelajaran tambahan disekolah atau dengan istilah sekarang SLTP/SLTA Plus atau sekolah terpadu. Sehingga dikemudian hari kita berharap tamatan SLTA mempunyai keterampilan setara SMK dan budipekerti keagamaan setara Sekolah Agama/Pesantren. Sebagai contoh; Sekolah Kejuruan Pertanian (Selali) bisa dijadikan Sekolah Unggulan dan dikembangkan menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian yang mana kedepan dapat kita harapkan menjadi pencetak generasi yang mempunyai keterampilan dan daya juang yang tinggi.

Sedangkan permasalahaan yang bersifat umum solusinya antara lain ; Pertama. Khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan, seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, rendahnya kualitas guru dan mahalnya biaya pendidikan, berarti menuntut juga perubahan keadilan perimbangan anggaran belanja pemerintah (Pendidikan murah/bersubsidi), disamping itu yang paling utama adalah memperbaiki perekonomian masyarakat (didik dan ciptakan pengusaha muda dan baru, caranya pada tulisan berikutnya yaitu “mari jadi pengusaha bermodal dengkul”) .

MENGAPA mutu guru rendah? Jawaban pokok, karena gaji guru rendah. Karena gaji guru rendah, generasi muda yang tertarik menjadi calon guru umumnya bukan calon-calon terbaik. Calon-calon terbaik akan bersekolah di sekolah lanjutan tingkat atas favorit atau berkuliah di jurusan favorit, misalnya kedokteran, teknik, hubungan internasional, atau lainnya.Lulusan nonkependidikan yang kemudian tertarik menjadi guru dengan mengambil program akta mengajar dapat dipastikan juga bukan lulusan terbaik. Mereka umumnya mengambil program akta mengajar karena kesulitan mencari pekerjaan di luar profesi guru. Sebaliknya, apabila gaji guru tinggi, generasi muda yang tertarik menjadi guru pastilah pilihan. Oleh karena calon yang bersekolah dan berkuliah di sekolah guru dan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) adalah calon-calon yang berkualitas tinggi (lulusan terbaik), dan tentu dengan kepribadian yang terbaik, maka dapat dipastikan akan diperoleh guru-guru yang berkualitas. Dilain sisi, pemerintah engan mengalokasikan dana untuk peningkatan mutu guru karena tidak ada jalan untuk KKN.

Aku dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga pendidik, seorang guru yang nasib ekonominya sangat memprihatinkan, namun aku selalu ingat orang tuaku yang pagi-pagi pergi kesekolah dengan berjalan kaki dari rumah menuju jalan utama untuk naik kendaran umum tidak peduli hujan atau panas. Beliau bertahun-tahun naik kendaraan umum karena jangankan beli mobil untuk bayar kredit sepeda motor saja tidak sanggup sebab penghasilan jauh dari cukup, sedangkan saya dan adik-adik membutuhkan uang sekolah, namun dengan berbekalkan tekad yang kuat saya jalani masa kuliah di Universitas Bengkulu sambil menjadi buruh bengkel dinamo dan radiator. Saya tahu persis, tekad baja, niat tulus dengan segenap keikhlasan yang dilandasi kejujuran dan kecintaan terhadap profesi, seorang guru tidak pernah mengeluh dalam melaksanakan jihad memberantas kebodohan di negeri ini. Makanya saya sangat sedih, saat hinaan, fitnah, cacian yang dialamatkan kepada guru karena gagalnya pendidikan dinegeri ini. Mereka berkata “Pendidikan ini hancur dan gagal karena kesalahan guru”. Saudaraku tercinta ! Semoga Allah memberikan kesabaran kepada kita semua Amin.

Kedua, Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga, buku bacaan dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

Disamping beberapa uraian diatas, menurutku, Pendidikan Islam Terpadu bisa menjadi solusi mengatasi krisis pendidikan ini. Agar keluaran pendidikan menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian, yaitu :

(1). Sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis dan belum berfungsi secara benar. Buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.

(2). Kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum tersebut dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya. Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian (Islam) yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan pelajaran moralitas (tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing.

(3). Berorientasi pada pembentukan, kepribadian relegius, Kreatif Inovatif dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan/Skill, mempunyai daya juang serta jiwa enterpreneur . Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.

Kepada guru, saya sebagai murid mu sampai saat ini masih sangat merindukan dan haus akan petuah, nasehat, bimbingan dan dukunganmu, aku selalu merindukan suasana dulu saat engkau memberiku ilmu, sekali lagi aku masih butuh petuahmu, nasehatmu, bimbinganmu, dan do’a restumu.

(Dari berbagai sumber, Penulis Alumni FE UNIB.)

2 komentar:

  1. Pak mw nanya:
    Perda No berapakah tentang keputusan Walikota Bengkulu tentang larangan pihak sekolah (guru) mengutip dana dari siswa untuk membeli buku?
    Thx b4

    BalasHapus
  2. Na itu aku kurang tahu perdanya, coba cek ke kabag hukum pemda...TQ Sobat

    BalasHapus